Hari Minggu di akhir bulan November, langit malam Jakarta terang dihiasi bulan setengah purnama. Pendar cahaya bulan bagai lampu sorot yang mengikuti laju sebuah taxi yang Ghea tumpangi. Dengan kecepatan cukup tinggi, taksi itu menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Lobi keberangkatan internasional Terminal 3 bandara mulai terlihat dari dalam taksi. Ghea panik sembari melihat jam tangannya berulang kali.
“Ck, bentar lagi check-in counter tutup,” gumam Ghea.
“Sebentar lagi sampai, Kak.” Sopir taksi separuh baya yang ramah berusaha menenangkan.
“Hehe, iya Pak. Salah saya yang berangkat dari rumah udah mepet.”
Akhirnya taksi berhenti di Gate 2. Dengan sigap sopir taksi turun menuju bagasi mobil dan menurunkan satu koper besar pink milik Ghea.
“Terimakasih banyak, Pak!” Ghea membayar tunai ongkos taksi dengan tambahan tip lima belas ribu rupiah.
Sopir berambut agak beruban dengan gaya short comb-over itu tersenyum ramah. “Terimakasih banyak, Kak.”
“Sama-sama. Mari, pak!” Ghea segera menarik gagang troli koper dengan tangan kanannya. Dia berjalan ke arah pintu masuk Gate 2.
Ghea menelepon Reta, sahabatnya, “Halo, Ta! Lo dimana?” Ghea berhenti sejenak untuk fokus mendengar suara Reta.
“Masuk aja. Abis x-ray langsung ke counter C-15.”
Ghea langsung menutup ponselnya dan bergegas melewati pintu masuk Gate 2 untuk baggage x-ray. Tak lama kemudian, dia menyusul Reta yang sudah berdiri di sekitar counter C-15.
“Sepuluh menit lagi check-in counter tutup. Kok bisa mepet gini datangnya?” tanya Reta kesal.
“Iya, sorry gue ketiduran.” Ghea balas dengan cengar-cengir.
Mereka kompak memasuki antrian check-in, lalu meletakkan koper bagasi masing-masing di dekat counter. Sambil berjalan cepat menuju pintu keberangkatan dan imigrasi, Reta masih mengomel.
“Jadi gimana ceritanya lo sampai ketiduran?”
“Sorry, Ta. Tadi sore gue masih ga percaya bakalan ke Sydney cuma buat Deryl. Terus tiba-tiba nangis. Habis nangis ngantuk. Terus ketiduran.”
Reta menggeleng. “Lo takut langkah yang lo ambil ini salah?”
Ghea terdiam sejenak. “Takut yang kita sangka selama ini benar.”
Mereka menuju ke Gate 5 untuk boarding di pesawat Singapore Airlines menuju Sydney. Tak banyak hal yang mereka bicarakan selama di pesawat. Kurang dari dua jam, pesawat mereka transit di Singapura.
Mereka transit selama empat jam di Bandara Internasional Changi, Singapura. Setelah makan dan berkeliling, mereka melanjutkan penerbangan menuju Sydney. Mereka mengudara selama tujuh jam dan selama itu pula Reta mendapati Ghea sering melamun dan terkadang menangis.
“Udah, tenang aja.” Hanya itu ucapan penghibur Reta. Sesekali sambil mengelus pundak Ghea.
Akhirnya mereka sampai di Bandara Internasional Sydney. Langit pagi Sydney cerah, tapi angin cukup kencang. Mereka tidak butuh waktu lama menunggu taksi Uber yang dipesan Reta datang. Berdasarkan rundown yang sudah disepakati, mereka sarapan dulu di restoran Indonesia bernama ‘Melokal’.
Sesampai di restoran ‘Melokal’, Ghea memesan banyak makanan. Tidak lama kemudian, sate ayam, nasi, ketupat sayur, ayam goreng, tempe goreng, dan dua mangkok es serut yang dipesan Ghea datang.
“Yakin lo bisa habisin ini semua?” tanya Reta.
“Yakin, dong. Lo tau gimana gue kalau lagi stress. Maunya makan banyak.”
“Makan banyak, sering ngelamun, terus nangis.” Reta melengkapi.
“Apaan? Kapan gue gitu?” protes Ghea.
“Astaga, coba gue rekam tadi selama di pesawat.”
Sembari sarapan mereka mengirim kabar kepada keluarga atau teman masing-masing di Indonesia. Sebelumnya, mereka sempat membeli SIM card nomor Australia di Bandara Sydney.
“By the way, kita kan kenal Deryl dari SD sampai SMA. Setau gue, dia ga pernah aneh-aneh sama cewek,” kata Reta sambil melahap suapan terakhir makanannya.
“Maksud lo pemalu?” tanya Ghea ragu.
“Bukan. Dia supel sama siapapun, tapi ga caper atau sampai nge-ghosting cewek. Iya, kan?”
“Dia memang supel, sih. Menurut lo setelah dia ngelamar gue, dia berubah jadi caper ke cewek lain dan bakal nge-ghosting gue?” tanya Ghea penasaran.
“Foto dan video dia selingkuh yang kita kumpulin dari Instagram, menurut lo gimana?” pancing Reta.
Ghea bergeming.
“Oh, sorry gue jadi ungkit soal itu. Makanan sudah habis semua, kan? Gue ke kasir dulu,” ujar Reta sambil beranjak dari kursinya.
“Eh, gue aja. Gue butuh kembalian dolar sen,” cegah Ghea.
“Oke. Jangan lupa minta struknya.”
Meja kasir yang dilengkapi dengan rak berisi berbagai cemilan dan minuman khas nusantara nampak lengang. Ghea menekan bel di atas meja kasir. Pandangannya kemudian terhenti di rak berisi ragam kopi khas daerah di Indonesia.
“Ya, meja nomor berapa?” tanya seorang pria yang muncul dari balik rak dan sudah di meja kasir.
Gara-gara fokus melihat-lihat rak kopi, Ghea jadi terkejut. “Oh, eh, umm, nomor 4.”
Ghea memandang pemuda kasir itu dengan heran. “Umm, maaf, mas nya bisa bahasa Indonesia?”
Pria tinggi tegap berusia 25 tahun, kulit putih, wajah blasteran, dan rambut buzz cut itu tersenyum manis.
“Iya, saya blasteran Indonesia-Australia.”
“Ooh, wow. Aduh, maaf ya kalau aku lancang nanya gitu.”
“Ga sama sekali. Wajar saja, karena sekarang kita di Sydney dan muka saya kayak bule, hehe.”
“Iya sih, hehe. Oh, iya, kopi bubuk Arabika Kintamani ada ga?” tanya Ghea dengan kedua mata memindai setiap baris rak.
“Yah, sayang banget. Hari ini kosong. Baru datang lagi besok. Suka kopi hitam, ya?”
“Lebih suka flavour latte, sih. Tapi, kalau lagi stress atau begadang aku pilih kopi hitam.”
“Ooh, jadi flavour latte sudah ga ada efeknya buat begadang dan mengatasi stress?”
“Exactly! Udah kayak kakek-kakek yang suka kopi hitam, kan? Hahaha”
“Ayah saya suka kopi hitam, tapi dia belum jadi kakek, hahaha!” Pria berhidung mancung itu tertawa renyah.
Suasana mulai mencair.
“Aku kesini lagi besok kalau kopinya sudah datang. Tapi aku mau pesen lima bungkus, bisa?”
“Bisa. Oh, iya, ada kopi robusta dari Lombok, dia punya cita rasa yang lebih lembut, Gangga Lombok namanya. Sebentar, saya ambilkan.”
Pria ramah itu menyodorkan satu kemasan 100gr kopi Gangga Lombok rasa gula merah kepada Ghea.
“Oh, ini yang rasa brown sugar. Ada rasa lainnya?” tanya Ghea.
“Ada. Rasa cokelat, apel, dan kacang.”
“Mau yang coklat dan apel. Masing-masing satu pouch.”
“Oke. Mau dibawa sekarang atau besok saja disatukan dengan Arabika Kintamani?”
“Disatuin saja untuk besok. Oh, iya, aku ke Lombok dua tahun lalu dan beli satu kantong kopi bubuk, enak rasanya, tapi lupa namanya,” ujar Ghea.
“Saya ke Lombok dua tahun yang lalu juga. Saya tahu kopi Gangga Lombok sejak saat itu.”
“Oh, ya? Aku kesana bulan Desember.”
“Saya ke sana bulan Oktober. Kalau saya disana bulan Desember, mungkin kita ga sengaja bertemu juga seperti sekarang,” ujar pria murah senyum itu.
Bagus Ceritanya. Jadi penasaran cerita selanjutnya. Hehe