
Ghea dan Nathan makan di restoran ayam berjarak satu blok dari apartemen. Mereka kesana dengan mobil Nathan.
“Aku pilih yang enak dan dekat dari apartemen kamu. Ga apa-apa, kan?” tanya Nathan.
“Ga apa-apa. Tapi kayaknya disini makanannya mahal.”
“Ga, kok. Aku udah beberapa kali kesini,” ujar Nathan santai untuk menenangkan Ghea.
Mereka memilih meja untuk dua orang. Tak lama kemudian, pelayan datang. Lalu mereka berdua memesan makanan dan minuman. Setelah pelayan pergi, Nathan memperhatikan Ghea yang celingukan seperti tidak nyaman.
“Kenapa? Ada yang bikin ga nyaman?” tanya Nathan.
“Ga, kok. Heran aja. Ternyata disini rame banget.”
“Iya, biasanya mahasiswa atau orang kantoran yang kesini.”
Nathan mengamati wajah Ghea yang terlihat lelah. Dia menduga Ghea terus kepikiran kejadian di kampus kemarin.
“By the way, lagi ga pengen ngopi ya? Tadi ga pesen kopi,” tanya Nathan.
“Lagi belum pengen aja.”
“Oo, gitu. Umm, Brenton suka kopi Indonesia juga, ya? Dia ramah banget, ya. Jadi penasaran gimana kalian bisa akrab.”
“Dia suka cobain macam-macam kopi katanya. Kami akrab gara-gara awal mula sampai di apartemen itu, aku nanya kafe-kafe kopi enak di sekitar apartemen. Terus jadi ngobrol banyak soal kopi,” jawab Ghea panjang.
Mendadak kata-kata Brenton muncul di pikiran Ghea. Setelah Ghea berganti pakaian tadi untuk pergi makan malam dengan Nathan, dia memberikan satu pouch Kopi Kintamani untuk Brenton. Lalu Brenton berbisik, ‘I think he really likes you.’ Brenton mengira Nathan menyukai Ghea. Semakin Ghea ingin mengabaikannya, semakin menggema kalimat itu di pikirannya.
“Oh, iya, boleh tahu sejak kapan kamu kerja di restoran Melokal?” tanya Ghea untuk mengalihkan pikirannya.
“Belum lama, kok. Itu part-time aja. Buat ngisi waktu senggang kalau lagi ga ada jadwal kuliah.”
“Wow! Kamu masih kuliah? Dimana?”
Nathan sadar dia harus hati-hati menjawabnya. Ghea sepertinya masih sensitif jika mendengar nama kampusnya setelah kejadian itu.
“Rahasia, hehe.”
Ghea cemberut. Nathan melihatnya sebagai sesuatu yang lucu.
“Aku akan memberitahumu kalau kamu mau jawab pertanyaanku,” kata Nathan.
“Oke, deal.”
“Kamu ada kegiatan apa di Sydney? Aku lihat kamu bawa tas koper besar sewaktu di restoran. Kamu juga menyewa apartemen.”
“Oh, itu, umm, aku sama sahabatku lagi jalan-jalan aja.”
Nathan bergeming.
“Aku udah jawab. Hayo, sekarang kamu harus jawab pertanyaanku tadi,” tagih Ghea.
“Oke. Aku kuliah di Sydney.”
Ghea mengernyitkan dahi.
“Kamu kan tadi tanya aku kuliah dimana, bukan kuliah di kampus apa. So, aku jawab di Sydney,” goda Nathan.
“Astagaaa! Itu curang namanya,” Ghea ketawa kesal.
“Excuse me.” Seorang pelayan datang mengantarkan minuman pesanan mereka.
Selagi menunggu makanan datang, mereka saling bertukar cerita lagi.
“Susah ga, kuliah sambil kerja part-time?”
“Tergantung masing-masing orang. Kalau aku ga sulit karena ini restoran keluarga.”
Ghea terkesiap sampai melongo.
Nathan tersenyum melihat ekspresi Ghea. “Iya, orang tuaku merintis bisnis restoran itu sejak aku masih SMA. Sekarang aku masih bantu operasional di kasir saja.”
“Keren. Seru banget punya bisnis keluarga di Sydney. Aku jadi inget dulu aku punya impian buka usaha tempe di luar negeri, hehe.”
“Bagus, dong. Jangan-jangan kamu kuliah bisnis di Indonesia?” pancing Nathan.
“Oh, tidak. Anda salah, hahaha. Aku lulusan S1 Ilmu Komunikasi.”
“Wow, kelihatan dari cara kamu bicara, kamu orang yang menyenangkan diajak ngobrol.”
“Tapi aku bisa galak juga, loh. Umm, kayaknya kita seangkatan ya, hehe. I hope so.”
“Aku kuliah S1 angkatan 2016,” balas Nathan santai.
“Tuh, kan. Ga salah aku larang kamu panggil aku ‘kak’. Aku angkatan 2017.” Ghea tersenyum puas. “Berarti sekarang sedang kuliah S2, ya?”
Nathan mengangguk. Dia semakin merasa nyaman bicara dengan Ghea. Ucapan dan mimik muka Ghea yang ceria selalu membuat Nathan tersenyum. Lalu, makanan pesanan mereka datang.
“Ada rencana kuliah lagi?” tanya Nathan sambil menyantap makanannya.
“Iya. Tapi sekarang masih kerja part-time dan fokus ngurusin program belajar di yayasan.”
“Part-time dimana? Yayasan apa?” tanya Nathan penasaran. “Sorry, if you don’t mind.”
“No, it’s fine. Aku part-time social media specialist di sebuah penerbit. Kalau nama yayasannya, Generasi Pelita. Aku bantu mengelola program mandiri belajar mengajar di sana.”
“Wow, itu keren banget. Aku belum ada apa-apanya.”
“Ga usah merendah gitu. Tinggal di Sydney, kuliah S2, bantu bisnis keluarga, itu ga kalah keren.”
Nathan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tersipu oleh pujian Ghea.
“Kalau jadi kuliah lagi, mau kuliah dimana?” tanya Nathan.
“Rahasia.”
Kedua mata Nathan menyipit. “Ooh, jadi balas dendam ceritanya, nih?” ledeknya.
“Hehe. Biar satu sama.”
“Oke. Kita seri sekarang,” sambut Nathan setuju. “Rencananya mau jalan-jalan kemana aja di Sydney?” tanya Nathan.
“Lokasi wisata umum saja di Sydney, kayak Madam Tussaud, Sydney Aquarium, Paddy’s Market…”
“Sydney Opera House?”
“Oh, ya ampun. Iya, itu juga. Rencananya mau muterin Sydney Opera House dari kapal.”
“Hmm, gitu. Berapa lama di Sydney?”
“Sepuluh hari.”
Mereka sudah hampir menghabiskan santap malam.
“So, sudah berapa hari kamu dan sahabat kamu di Sydney? Umm, siapa nama sahabat kamu?”
“Reta,” sahut Ghea. “Astaga!” Ghea terkesiap menyebut nama Reta. “Aku lupa bilang ke Reta kalau aku pergi keluar makan malam. Katanya tadi dia pergi mau beli makan malam.”
Ghea membuka clutch-nya, lalu mengeluarkan ponsel dari dalamnya. “Nice. HPku mati, baterainya habis.”
“Oke. Tunggu di sini, ya. Aku ke kasir dulu,” ujar Nathan menenangkan Ghea.
Seusai membayar, Nathan bergegas menuju Ghea.
Segera setelah melihat Nathan kembali dari kasir, Ghea terburu-buru berdiri. Tapi, tiba-tiba kepalanya terasa pusing sekali. Badannya lemas dan perutnya mual. Tak sanggup lagi menahan sakit di kepalanya dan semua terlihat gelap baginya, Ghea jatuh pingsan.
============
Penulis: risandrea
This Post Has 0 Comments